Rabu, 07 Maret 2012

Ibu-ibu 'Dilarang" Sakit

Siapa juga yang suka 'diijinin' sakit, yes?
Tetapi serius, mungkin karena musim hujan -nyalahin musim--
tiga bulan belakangan saya sering merasakan keluhan kesehatan yang rada serius.
Maksudnya sampai mewajibkan saya tidur-tiduran hampir sepanjang hari.. Kalau nggak mau ambruk.
well 'hampir' is the keyword

Keluhan-keluhan itu antara lain, sakit gigi, flu yang cukup berat, headache yang menyiksa..
sebenernya common problems lah.. Penyakit-penyakit 'rumahan'. Bukan penyakit serem dengan kata-kata tercetak miring .. Naudzubillah.. jangan sampai..
Penyakit-penyakit itu saya sebut rumahan, karena sebetulnya dengan memperbanyak asupan gizi dan istirahat, bisa diredakan dan disembuhkan.
Tapi pointnya adalah .. mana bisa saya istirahat dengan tenang.. Kalau rumah dan seisinya keleleran.

Dua anak balita laki-laki pasti masih butuh dimandikan, disuapi, dan diajak main 12 jam seharinya. Dan meski si ayah udah bisa mandi, makan, dan main sendiri, mana tega saya biarkan dia hanya makan dengan telur ceplok atau abon selama beberapa hari?

Belum lagi kerjaan rumah yang.. mm tambah menumpuk..

So.. meski suami dengan 'baiknya' berkata: "Udah istirahat aja.."
Tapi kenyataan kalau anak-anak, ayahnya, dan rumah 'nggak keurus' adalah kompensasi kalau saya 'istirahat aja', maka lebih baik saya 'tidak istrahat saja' meski sambil mengaduh dan mengeluh.

Kadang, kalau lagi waras, saya berusaha mengurangi keluh kesah itu dengan mengingat kalimat yang diutarakan om Pepeng di salah satu TV, ada perbedaan antara pain dan sickness.. Yang mesti kita kelola adalah painnya.. . supaya kita nggak sick..

Well, meski derajad sakit yang dimaksud om Pepeng jauuh bener sama 'sakit'nya saya, saya jadi rada-rada mikir kalau mau ngeluh. Malu, man!

Senin, 20 Februari 2012

Tas Belanja

Barusan baca status teman yang lagi nyari tas selempang yang biasa dia pakai untuk belanja, jadi ingat sesuatu.

Jaman dulu, kegiatan belanja ke pasar adalah kegiatan yang sangat menyenangkan buat saya, dan adik saya. Pasar -yang biasa kami datangi- itu adalah pasar terbesar di kota saya.
(Duh, someday saya akan ngomongin soal asyiknya belanja di pasar ini, tapi kali ini khusus ngomong soal tas belanja)

Dulu kala, kalau mama ngajakin saya sama adik saya belanja, pasti beliau membawa sebuah tas gede. Dari bahan plastik gitu, yang ada krawang-krawangnya. (Nggak nemu gambarnya di gugle)

Terus, para penjual di pasar itu, baik penjual bawang, cabe, sampai daging, akan membungkus belanjaan kami pakai daun. Daun pisang, daun jati,.. dan jarang yang pakai plastik.Untuk barang-barang kelontong (barang kering) juga akan langsung nyemplung ke tas belanja gede itu. Paling plastik dipakai untuk belanjaan macam ikan.. yang basah-basah.

Kalau model sekarang coba deh, apa-apa plastik, dikit-dikit plastik.

Saya sendiri juga, cuma belanja dari mbak keliling, yang notabene beli di teras rumah, dibungkus-lah tu cabe pakai plastik sama si mbaknya.

Dengan alasan kepraktisan, coba berapa dari kita semua -termasuk saya dong- yang rela bawa-bawa tas kalau pergi ke pasar?
Lumayan kan, buat mengurangi sampah plastik yang nggak perlu.
Lagi pula plastik cilik-cilik itu (ukuran 1/2 kilo sampe 1 kilo) kan nggak bisa juga kita pakai lagi.. Paling langsung kebuang..

Ini rada-rada ngomongin go green gitu deh.
Meski kadang saya juga seneng dapet plastiknya (terutama plastik ukuran tanggung dari swalayan itu) buat buang sampah rumah tangga.
..Kan.. tu plastik-plastik sekarang banyak yang berlabel 'biodegradable'?

hehehe..

Selasa, 07 Februari 2012

Inilah yang Menjadikan Perilaku Anak-anak

Menurut buku yang sedang saya baca,
(buku yang menarik buanget, meski belinya diskon abees)

Kita adalah produk dari kebiasaan-kebiasaan yang beresonansi terus-menerus dalam sel-sel otak kita.

Dan.. ngomongin otak nih, otak anak-anak mengandung sejumlah besar sel saraf tertentu yang disebut sel-sel saraf cermin --> yang melakukan apa sesuai namanya.

Sebagai anak, kita mengalami peristiwa, perilaku, dan emosi yang terjadi di lingkungan kita..

Jadi anak-anakku.. mereka akan melihat kebiasaan-kebiasaan saya, dan turn out, akan menjadi kebiasaan mereka juga.

Scary, eh?

Senin, 23 Januari 2012

Keinginan vs Kebutuhan

Alkisah saya –sangat- sering berkeluh kesah, tentang bagaimana saya begitu sibuk mengurus dua balita tanpa dibantu pengasuh. Sampai-sampai saya tidak punya waktu untuk bekerja (ke kantor lagi), apalagi ke salon! Like it's matter. Padahal dulu waktu ada 'Mbak terpercaya aja saya sangat jarang keluar rumah untuk ke salon.

Memang seperti jadi kebiasaan buruk saya, untuk menginginkan yang saya tidak bisa dapatkan, so bad, tapi begitu ada kesempatan, ajaib, saya tidak terlalu menginginkannya lagi.

Dulu, waktu belum punya mesin jahit (ceile mesin jahit lagi neng), saya selalu ngimpi dan ngebet pingin bisa bikin sarung bantal sendiri, pouch sendiri, sampai baju sendiri. Setelah punya? Ya, tahulah dari cerita-cerita sebelumnya gimana nasib si mesin jahit itu.

Dulu lagi, jaman kuliah saya kan nge-kos, dan komputer hanya bisa diakses di kantor (kantor pribadi). Maka saya ngidam pengen punya lap top. Kan enak tuh, bisa ngerjain tugas kuliah, dan terutama buat ngerjain thesis saya di kos-kos-an. Tapi begitu saya punya, yaa.. kebanyakan laptopnya dipakai buat main puzzle buble.

Jadi, ke salon, dan lain-lainnya itu memang sebatas keinginan saya, sedangkan saya, tidak (terlalu) membutuhkannya. Oh, so many things then, yang harus saya sortir dalam daftar kebutuhan dan keinginan.

Hidup ini nggak boleh mubazir, termasuk dengan kesempatan dan barang-barang yang saya punya. Saya nggak pengen di-hisab terlalu lama, gara-gara karuniaNya terus terdepresiasi tanpa ada manfaatnya.

Tabik!




Kamis, 19 Januari 2012

Resep Abal-abal

Pernahkah teman-teman nyobain resep dari majalah/ tabloid/ media2 tapi nggak jadi? Ceritanya, sebulan yang lalu saya salah beli 'coklat putih' instead of coklat blok yg biasa saya beli untuk buatin anak-anak brownies. Tu white cooking chocolate nganggur di lemari dapur tanpa saya tahu mau dibuat apa sampai, saya nemu resep yang saya rasa pas.. di salah satu tabloid kenamaan lokal. Saya sebut pas karena bahan-bahannya sederhana sekali, dan semua ada di dapur saya.

Sebenernya tadinya saya nggak yakin sama resep itu, karena tabloid ini saya dapati kadang memuat berita artis seolah melakukan wawancara sendiri. Padahal menurut hemat saya sih hasil 'terinspirasi' dari berita di tabloid nasional atau
infotainment. Kalimat-kalimatnya itu loh, nyaris sama. Ngga ada hubungannya memang sama resep, tapi saya pikir kalau untuk berita saja nggak sempat melakukan wawancara sendiri, kapan para awak redaksinya sempat melakukan uji coba resep sendiri? Tetapi resep ini ternyata resep dari seseorang yang konon sudah punya bakery. Lengkap dengan fotonya, dan alamat bakery. So.. masa sih, resepnya abal-abal?

Singkat cerita, saya sebenernya sudah curiga karena prosesnya kok tidak 'standar' seperti lazimnya resep kue. Bukannya sok tahu, belakangan saya cukup rajin nyobain resep-resep terutama kue. Udah gitu hasil
step-by-step-nya juga nggak seperti apa yang dituliskan. Dan, meskipun pada 30 menit pertama saya sempat gembira karena dari oven tercium bau harum, akhirnya mesti menerima kenyataan bahwa tu kue masih liquid meski sudah di oven selama 1,5 jam.

Saya ngomel, ini sih beneran kurang terigu, kebanyakan margarin, dst. Karena nggak mau rugi, kue itu berusaha saya selamatkan. Saya buang kelebihan margarinnya (yang membuatnya seperti sedang memasak telur dadar), saya kecilin api oven, saya tambah waktu memanggangnya, hingga 2,5 jam.

Akhirnya beberapa potong sempat masuk ke mulut anak saya. Pakai embel-embel, "Enak, Bu!" Saya cobain, lumayan juga sih sebetulnya, tapi ternyata kue itu tak sampai siang hari semakin bantat dan bantat. Ya wis saya buang aja. Termasuk lembaran tabloid berisi resep itu.

So, pesan moral dari cerita ini adalah: dapatkan resep dari sumber-sumber yang sudah terpercaya ya.
Happy baking.

Rabu, 18 Januari 2012

Jauuuh hari setelahnya

I'm ironic..

Ngaku deh saya, kalau saya ini suka gampang sekali bosan (atau menyerah) dengan hal-hal yang tadinya saya bilang akan saya lakukan..

termasuk tema postingan yang kemarin-kemarin itu..
Sekedar biar nyambung aja, tuh mesin jahit sudah setahun jadi penghuni lemari bawah tivi.

Hasil karya juga cuma nambah dua celana tidur buat anak-anak, dan gamis tak berkerah tak berlengan..
Ternyata menjahit baju itu.... sulit dilakukan.. (karena sy belum bisa)
Belum lagi bikin pola.. kayaknya saya butuh pengajar..
Niatan untuk les jahit? Uh, jauuh dari kenyataan..

Sudah ya, malu-maluin ngomongin soal jahit-menjahit ini, meski alasan ini yang membikin saya nge-blog dengan tema 'pekerjaan ibu'
entah apa maksudnya waktu itu.. kayaknya saya terinspirasi dengan blog-blog penjahit online dan bermimpi, someday I'll be one of them
maksudnya menjadikan 'menjahit' salah satu 'pekerjaan' saya.. --ngimpii-

Jujur, saya masih sangaat suka ngintipin blog-blog mereka, sambil iri setengah mati.
Tapi, (nah, saya selalu menemukan alasan).. .saya kan sedang sibuk dengan dua anak balita..
Tanpa ART pula.. -siapa suruh-

Nah, sepertinya sindrom menjahit ini hanya menjadi salah satu chapter dalam hidup saya...
sekarang saya stuck dengan mesin jahit (yang keren) di dalam lemari, sekardus gede bahan kain yang saya beli dengan semangat akan dibikin ini itu, dan selaci penuh kancing-kancing, resleting, benang, dkk. Nggak ketinggalan setumpuk buku tentang menjahit, dan berpuluh MB file-file tutorial hasil download-an tentang pola-pola dan tips menjahit. Kapan yaaa... menjahit lagi..

Maybe I should stop trying to do something that wasn't my thing.. .
Or.. try to be persistent on what I'm good doing..
which is...

tadaa...

(apa-ya)